Gagasan mengenai sistem perwakilan bikameral di Indonesia yang mengemuka pada amandemen UUD 1945, tahun 1999-2002, berangkat dari kritik terhadap struktur ketatanegaraan yang dianut di Indonesia, terutama hubungan antara MPR, DPR, dan Presiden. Pemikiran mengenai hal ini telah digulirkan jauh sebelum amandemen terhadap pasal mengenai MPR dilakukan pada tahun 2001, salah satunya dikemukakan oleh PSHK (Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia) pada tahun 2000.
PSHK melakukan penelitian mengenai sistem ketatanegaraan, yang dituangkan dalam bukunya yang bertajuk “Semua Harus Terwakili: Studi Mengenai Reposisi MPR, DPR dan Lembaga Kepresidenan di Indonesia” (Jakarta: PSHK, 2000). Studi ini menunjukkan adanya beberapa persoalan mendasar dalam struktur MPR.
Adapun permasalahan-permasalahan tersebut adalah, Pertama, permasalahan representasi. Total keanggotaan MPR sebelum amandemen UUD 1945 ditetapkan sebanyak 1000 orang (sebelumnya 900 orang). Dari jumlah tersebut, terdapat 425 orang (sebelumnya 400 orang) anggota DPR yang merangkap sebagai anggota MPR (anggota MPR/DPR) dan sisanya merupakan anggota MPR yang bukan merupakan anggota DPR, yaitu Utusan Daerah (UD) dan Utusan Golongan (UG). Dengan demikian, ada dua jenis keanggotaan MPR, yaitu: anggota MPR/DPR dan anggota MPR yang bukan anggota DPR. Belum ada penjelasan yang memadai tentang struktur MPR tersebut serta alasan mengapa ada lembaga MPR dan DPR yang terpisah. Alasan yang bisa diperkirakan, menurut Bagir Manan, adalah keanggotaan MPR diperluas dengan hadirnya utusan daerah dan utusan golongan, di samping anggota DPR itu sendiri (Bagir Manan, Republika 8 Juni 2000).
Lebih jauh lagi, Utusan Golongan dan Utusan Daerah tidak merepresentasikan kelompok masyarakat yang diwakilinya secara nyata. Utusan Golongan dimaksudkan mewakili kelompok-kelompok masyarakat yang tidak partisan partai politik. Namun, mekanisme penentuan “golongan” tidak jelas. Pada kenyataannya, anggota Utusan Golongan berasal dari golongan cendekiawan hingga bintang film. Pertanyaan retorik muncul: apakah “golongan” yang dimaksud dirasa belum cukup terwakilkan dalam partai politik?
Masalah representasi juga menyangkut intervensi dan dominasi politik Presiden terhadap penentuan anggota MPR yang dipilih melalui pengangkatan. Hal ini terefleksikan dalam UU No. 2 Tahun 1985 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Proses pengangkatan ini dilakukan melalui Keputusan Presiden. Anggota utusan daerah pada prakteknya merupakan hasil pemilihan eksklusif anggota DPRD Provinsi.
Kedua, ada ketidakjelasan sistem perwakilan yang dianut yang menyebabkan tidak berjalannya mekanismechecks and balances. Peran lembaga legislatif praktis hanya dilaksanakan oleh DPR, sementara anggota MPR dari utusan daerah dan utusan golongan tidak bisa dikategorikan sebagai legislatif karena kerjanya yang terbatas setiap lima tahun. Sehingga, berangkat dari keinginan untuk mengefektifkan utusan daerah, gagasan bikameral kembali dilirik.
Penjelasan sederhananya, dalam sistem perwakilan satu kamar (unikameral), hanya ada satu dewan yang menjalankan kekuasaan legislatif secara penuh. Sementara dalam sistem bikameral, ada dua “kamar” dalam parlemen yang bekerja berdampingan. Biasanya, kamar pertama merepresentasikan jumlah penduduk, seperti yang dapat dilihat pada DPR. Sedangkan kamar kedua merepresentasikan konstituensi yang berbeda. Pada model Westminster (Inggris), yang diwakilkan adalah orang-orang terpilih (bangsawan atau golongan tertentu) dan pada model Amerika Serikat, yang diwakilkan adalah wilayah di dalam negara itu. Dua model inilah yang dikenal luas, tentu dengan berbagai variannya.
Dua model ini lahir dari situasi politik yang berbeda. Model Westminster lahir karena “evolusi” sistem pemerintahan di Inggris selama berabad-abad. Sehingga pada suatu saat tradisi feodal yang dimoderenkan membuat para bangsawan dikelompokkan dalam kamar tersendiri dalam parlemen. Maka anggota kamar kedua biasanya hasil penunjukan, bukan pemilihan. Negara-negara lain pun, yang umumnya bekas jajahan Inggris (misalnya Kanada), kemudian mengikuti model ini. Karena sifat feodalistiknya ini, keberadaan House of Lords di Inggris sendiri mulai dipertanyakan dan sudah ada kampanye agar anggota House of Lords dipilih oleh rakyat. Di sisi lainnya, model Amerika Serikat lahir karena kebutuhan mengelola -secara ekonomi dan politik- wilayah yang demikian besar dan masyarakat yang plural dalam suatu negara. Oleh sebab itulah, model kedua ini menjadi terlihat lebih dekat dengan konsep negara federal. Meski sebenarnya persoalan “fakta” geopolitik mestinya dipisahkan dengan “disain bentuk negara” (federal atau kesatuan).
Terlihat dari uraian di atas, dalam konteks Indonesia, model kedua dianggap lebih relevan, yaitu suatu parlemen bikameral dengan kamar kedua yang dipilih oleh wilayah-wilayah yang perlu diwakilkan dalam parlemen. Namun masalahnya, karena seakan identik dengan negara federal, konsep ini menjadi tidak diterima secara utuh sewaktu proses amandemen konstitusi berlangsung. “Hantu” federalisme dianggap bisa membawa perpecahan dan pemisahan diri. Apalagi, seperti dikemukakan pada bagian awal tulisan ini, referensi bikameral dalam konteks sejarah Indonesia hanyalah Senat RIS pada masa penerapan federalisme, yang dipaksakan Belanda untuk memecah dan mengokupasi kembali wilayah-wilayah nusantara.
Sehingga menjadi suatu pertanyaan besar dalam konteks ini, yaitu akankah bikameralisme mendorong federalisme dan kemudian perpecahan (balkanisasi)? Politik, tentu saja bukan seperti ramalan cuaca yang bisa diperkirakan dengan akurat. Namun satu faktor penting yang perlu dilihat adalah berubahnya pola hubungan pusat dan daerah sendiri sejak 1999. Perubahan ini diawali dengan lahirnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Lalu Amandemen kedua UUD 1945 pada tahun 2000 mempertegas perubahan ini dengan menyatakan dalam Pasal 18 UUD NRI 1945 bahwa “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.”
Pernyataan mengenai ‘otonomi luas’ ini mengandung gagasan pemberdayaan politik dan ekonomi daerah. Secara implisit ada pernyataan bahwa pemerintahan daerah harus lebih banyak berperan, dan pada saat yang bersamaan pemerintah pusat harus memfasilitasinya. Fasilitasi kepentingan daerah oleh pemerintah pusat dilakukan dengan adanya urusan-urusan yang diidentifikasi sebagai persoalan yang akan dapat mempengaruhi negara secara makro. Urusan inilah yang diidentifikasi sebagai isu nasional, atau enam hal ‘urusan pemerintah pusat’ yang dituangkan dalam UU 32/2004. Untuk mengurusi enam hal itu secara maksimal, pemerintah pusat mestinya memperhatikan kebutuhan daerah dengan memfasilitasinya dalam pembentukan kebijakan yang bersifat nasional. Bukan dalam konteks membuat kebijakan teknis dan mengawasi pelaksanaan otonomi daerah seperti yang dilakukan oleh eksekutif melalui Departemen Dalam Negeri. Melainkan dalam konteks pembuatan kebijakan nasional dalam suatu lembaga legislatif. Perbedaan kapasitas berbagai daerah dalam melaksanakan otonominya, perbedaan karakter daerah, dan perbedaan tingkat kemampuan ekonomi daerah, membutuhkan adanya kebijakan tingkat nasional yang bisa mengakomodasi perbedaan ini secara makro.
Bila cara pandang ini disetujui, maka akomodasi kepentingan dan kebutuhan daerah dalam pengambilan keputusan di tingkat pusat melalui DPD menjadi suatu konsekuensi yang logis, bahkan apabila dikaji lebih dalam, ada dua argumentasi mengenai kebutuhan akan bikameral yang efektif di Indonesia (lihat juga Kelompok DPD di MPR RI, 2006). Pertama, dan yang paling utama, adalah untuk membawa kebutuhan dan kepentingan daerah dalam pengambilan kebijakan di tingkat nasional. DPR sendirian masih belum cukup untuk dapat melakukan peran ini. Dikatakan belum cukup karena ada indikasi-indikasi kuat kearah itu, misalnya, masih banyaknya undang-undang yang belum dapat secara maksimal mengakomodasi kepentingan daerah. Buktinya adalah banyak undang-undang yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk uji materil dengan alasan tidak mengakomodasi kebutuhan daerah. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sendiri sudah beberapa kali diajukan ke MK oleh berbagai pihak karena muatannya tidak memperhatikan realitas politik yang ada di daerah. Contoh lainnya adalah Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, yang diajukan oleh DPRD Jawa Timur dan beberapa pihak lainnya karena penyelenggaraan jaminan sosial di seluruh Indonesia, menurut undang-undang ini, diselenggarakan hanya oleh empat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sehingga menghambat tercapainya tujuan pemberian otonomi kepada daerah. Juga, banyak persoalan di daerah belakangan ini yang tidak dapat direspons dengan cepat dan memadai oleh Pemerintah, sehingga membutuhkan perwakilan rakyat yang efektif guna mendorong pemerintahan yang lebih responsif. Kebutuhan yang kedua adalah untuk mendorong adanya kekuatan politik penyeimbang di dalam parlemen agar kekuasaan legislatif tidak terkonsentrasikan pada satu lembaga. Seperti dikatakan oleh Sartori:
“Mengonsentrasikan seluruh kekuasaan legislatif hanya pada satu badan tidak hanya berbahaya tetapi juga tidak bijaksana: dua mata lebih baik daripada satu mata dan kehati-hatian membutuhkan adanya proses pengambilan keputusan yang dikontrol dan dibatasi”
(Sartori, 1997: 184)
Persoalannya bukan pada tubuh DPR itu sendiri, tapi memang keberadaan suatu kamar lain di dalam legislatif akan menjadi kekuatan penyeimbang yang penting. Dengan adanya DPD yang berkedudukan setara, walau mungkin akan dibentuk dengan fokus wewenang yang berbeda, akan ada mitra DPR untuk membahas segala keputusan yang diambilnya. Dengan begitu, segala keputusan yang diambil oleh legislatif telah melalui pertimbangan yang lebih baik. Apalagi sifat kelembagaan yang berbeda yang disebabkan oleh asal muasal anggotanya akan menyebabkan adanya perbedaan pandangan, yang pada gilirannya akan membuat keputusan lebih seksama dipertimbangkan. Dengan kata lain, adanya DPD yang setara adalah juga suatu model pembatasan kekuasaan.
Di samping itu, adanya DPD sebagai mitra setara DPR juga akan memicu suatu pembaruan kelembagaan yang penting di dalam tubuh legislatif. Kamar kedua yang kuat akan menjadi mitra yang baik DPR. Bukan hanya dalam pengambilan keputusan, tetapi juga mendorong adanya persaingan sehat antar-lembaga dalam hal etika politik dan pembaruan sistem kerja. Persaingan ini diharapkan akan membuat DPR dan DPD menjadi lebih baik.